Sunday, June 3, 2007

Say it Out Loud Mei 2007


TOPIK UNTUK BULAN INI (MEI 2007):

Rahasia tentang identitas seksual ternyata sangat sulit disimpan sendirian. Kita sangat ingin membaginya kepada seseorang. Bagaimana dengan kamu? Siapakah orang pertama yang kamu bagi rahasia tentang orientasi seksualmu? Mengapa kamu memutuskan membagi rahasiamu dengan orang tersebut?

Ayo bagi pengalaman pertamamu ketika pertama kali bercerita tentang orientasi seksualmu...

Dead line
: 30 Mei 2007


Berikut ini tanggapan atas Topik bulan Mei 2007.


Menyimpan rahasia amatlah menyiksa. Tak tahan dengan kesunyianku, akhirnya jari bergegas mengetik kata "Lesbian" di kolom "search" setahun lalu. Dari situlah berawal perasaan bebas dan lega yg selama 33 tahun yang kupanggul tanpa seorang pun tahu. Kujalani usia remajaku sewajar mungkin. Kunikmati wajah-wajah manis dan senyum menarik dari mahkluk yang disebut perempuan. Usia dewasa kusambut tenang, walaupun dada ini bergejolak menahan gairah yang siap ditumpahkan ke makhluk yang berwujud perempuan. Akhirnya aku tiba di ujung jalan kodratku sebagai wanita yang harus melangkah ke gerbang perkawinan, meskipun lubuk hati yang paling dalam memberontak. Namun apa daya, keadaan itu harus kuterima tegar. Ketegaran yang membuahkan hasil tak ternilai untuk hidupku. Seorang makhluk mungil terlahir di dunia ini. Dan melalui ketikan kata "Lesbian" aku coming out, dan akhirnya aku menemukan teman-temanku yg selama ini kucari-cari tanpa jarum kompas di tangan.
(Magda)




Mengaku memiliki perasaan “tertentu” pada seorang sahabat perempuan di usia 25 tahun, dan menuliskannya pada surat yang dikirimkan melalui disket adalah sebuah pengalaman tidak terlupakan. Tentu saja pengakuan itu pengakuan perasaan suka dan sayang pada sahabat yang dikenal sejak bangku SMA kemudian terus berlanjut dekat semasa kuliah dan juga saat sudah bekerja. Mengaku sebagai lesbian? Tentu tidak, karena belum terpikir bahwa perasaan suka yang mendalam ini menandakan bahwa orientasi seksualku ini memang berbeda dengan mainstreem masyarakat heteroseksual. Pengakuan tersebut tidak berbuntut penolakan secara langsung, hanya sahabat tersebut berujar ”Sudah lupakan perasaan kamu itu, tidak usah dilanjutkan dan diterus-teruskan”. Pengakuan yang sejujurnya dan dengan penuh kepastian, terjadi pada usia 27 tahun, saat keyakinan akan pilihan hidup ini hendak dijalani. Pengakuannya kepada perempuan yang dicintai tentunya, dan bravo, cintaku tak bertepuk sebelah tangan.
(Ratri M)




Aku mengatakan hal ini kepada 4 orang teman kampusku. Mungkin desakan hatiku sendiri yang seolah-olah ingin bebas dari pertanyaan mereka, kenapa aku belum pernah sekalipun pacaran. Aku ingin membuat pengakuan kepada teman-teman terbaikku (baca: teman-teman geng kampus waktu itu), bahwa aku seorang lesbian. Saat aku mengungkapkan siapa diriku, mereka memandangku dengan mata terbelalak, seakan tidak percaya pada apa yang dilihat dan didengar, seperti halnya aku adalah seorang musuh dalam selimut yang menggunting dalam lipatan. Ketika seleksi alam dalam dunia pertemanan pun terjadi, hanya seorang sahabat dari 4 teman terbaikku yang tetap menjalin hubungan denganku. Hanya saja, sahabatku ini tidak pernah mau mendengar kisah bahagia ataupun sedih tentang hubunganku dengan seorang wanita. Kalau aku sudah mulai bercerita, dia akan menjejaliku dengan kata-kata bukan cacian atau makian, tetapi nasihat kehidupan yang mengiris hati dan menyesakkan dada. Karena menurutnya, sahabat yang baik adalah sahabat yang akan menolong ketika sahabatnya sendiri ketika hendak jatuh ke jurang. Menurutnya, aku adalah seseorang yang hendak jatuh ke jurang. Jadi, katanya “Jangan suruh aku mendorongmu jatuh ke jurang”. Aku hanya bisa diam, tidak tahu harus berkata apa.
(Arie)





Menyimpan rahasia ini seperti membawa bom waktu yang akan siap meledak menghancurleburkan apa saja. Setelah mengumpulkan aneka jin keberanian, aku memutuskan menelepon teman lelaki hetero terbaikku dan memaksanya bertemu denganku detik itu juga. Suaraku yang histeris dan mendesak di telepon membuatnya ikut-ikutan panik. Seketika itu juga, dia pontang-panting menjemputku. Kelak aku baru tahu bahwa dia membatalkan janji pertemuan dengan orang lain demi bertemu denganku. Kelak aku baru tahu dia nyaris menabrak bus karena menyetir gila-gilaan.
Kami meluncur di mobil menuju sebuah mal besar di Jakarta. Kakiku lemas seperti lumpuh saat dia mengajakku turun dari mobil di area perparkiran. Gawatnya lagi, tanganku juga gemetar hebat sehingga sahabatku jatuh kasihan (plus cemas aku bakal pingsan di tempat), membiarkan aku bercerita di dalam mobil. Keringat dingin mengalir di punggungku saat aku berusaha mengatakan kejujuran kepadanya. Dari awal sampai akhir, kalimatku kacau balau dan superberantakan. Setelah ribuan kata-kata tumpah ruah membanjiri mobil, yang muncul rasa hening yang begitu melegakan. Rasanya seperti habis melahirkan (ibu lesbian nggak punya metafora lain)!
Sahabatku memandangku dengan tatapan geli, menghela napas legaaaa, lalu berkata tenang, “Oooo, cuma itu aja. Duh, gitu aja repot. Gue pikir urusannya lebih genting, seperti lu dikejar-kejar polisi karena mengedarkan narkoba.” Ya ampun, gubrak deh.
(Lakhsmi)





Pertama kali saya mengaku lesbian adalah kepada sahabat baik yang sudah saya kenal sejak SMP. Waktu itu saya berusia 21 tahun, dan masih berstatus mahasiswi. Bersama sahabat baik ini, saya melalui berbagai peristiwa hidup mulai dari yang konyol, manis, sampai duka. Namun seiring berjalannya waktu, saya merasa jarak semakin lebar di antara kami karena saya harus “berbohong” padanya setiap kali bercerita tentang siapa “orang” yang kutaksir. Tidak tahan lagi, akhirnya dalam salah satu kesempatan nongkrong di kedai kopi, saya berkata takut-takut, “Ehm, gue mau terus terang sama elo nih.” Melihat saya pucat dan tegang, bisa kulihat sahabatku ikutan panik. “Kenapa lo?” tanyanya.
“Selama ini gue nggak jujur sama elo.”
Sahabat saya makin serius, tegang dan menahan napas, apalagi saya tidak berani menatap matanya.
“Apa? Di bagian mana lo nggak jujur ama gue?”
Akhirnya tersemburlah kata-kata itu bagai air bah. “Gue... gue lesbian.”
Sahabat saya memandang saya lama dan serius, lalu mengembuskan napasnya yang ditahan. “Sialan, lu! Gue pikir lu bohongin gue apa! Lesbian doang! Kirain elo mau cerita yang lebih dramatis atau apa!”
Halah!
(Alex)



Tahun pertama bersama pasangan terasa berat menyembunyikan aroma cinta di hadapan ibuku. Suatu hari beliau bertanya ada apa aku dengan R. Aku pun akhirnya coming out. “Aku mencintainya Ma,” jawaban itu ternyata menjadi kiamat kecil bagiku dan pasangan. Reaksi panik menemukan anak sulungnya mencintai sesama jenis, membuat ibuku seperti merasa bersalah, dan langsung mencarikan berbagai macam solusi agar aku bisa disembuhkan, jangankan resep dokter, jampi dukun dan doa tokoh agama pun ikut bertindak. Selama enam bulan sahabat aku dan pasangan bertambah dua orang, psikiater dan psikolog. Tidak cukup itu saja, kami sempat disidang, aku terharu kekasih berani berhadapan dengan orangtua, menjelaskan keadaannya dan memperkuat bahwa kami berdua anak baik yang berusaha mengabdi pada orangtua. Aku nyaris dengan satu koper penuh pakaian meninggalkan rumah, R bilang itu bukan solusi, berbakti pada orangtua itu bernilai emas. Bakti dan kesabaranku kepada orangtua mendapatkan pahala. Sampai sekarang aku yakin ibu masih mengetahui aku bersama R, tapi beliau mendiamkan saja.
(Al)




Mengurusi pameran karya pelukis maestro butuh kosentrasi. Barang coreng moreng tersebut harus ditangani bagai bayi baru lahir. Hari itu aku lumpuh untuk mengkoordinirnya, murung muram tanpa semangat. Bosku, perempuan beranak empat, 45 tahun, cantik, enerjik, selalu penuh vitalitas, menangkap sinyal lemasku sejak seminggu, menanggungjawabi pameran mahal itu membuat ia cemas. Ia memintaku untuk jujur, “Ada apa? Mengapa tidak maksimal?” Aku bilang tak berani menjelaskannya kecuali melaui sms. Kalau kakak mengetahui sebenarnya apa kakak tidak akan menjauhiku? Tidak mengurangi nilai persahabatan kita? Tidak membuat kakak berubah? Dibalas: Aku mengenal kamu cukup lama, tahu kamu siapa, mengenal kamu pada saat marah, sedih, senang dan ketika kita di bawah tekanan kerjaan, don’t worry adikku. Kuketik lagi: Kakak, aku mencintai seorang perempuan, kami baru disidang oleh keluarganya, dilarikan ke luar negeri, aku kalut, sepi dan bingung. HP bergetar, ia mencoba menelpon, aku tak berani mengangkatnya. Kak, please lewat sms aja, aku belum berani dengar suaraku membuat pengakuan ini. Kepada beliau aku pertama kali coming out. Bagai bersatu dalam goresan lukisan, persahabatan kami terasa lebih berkarakter dan berwarna. Ia tak pernah berubah dan kami menjadi sangat dekat.
(Ade Rain)

Terima kasih pada teman-teman yang sudah bergabung bersama Say it Out Loud! Kita akan bertemu lagi pada topik berikutnya. Untuk ide dan usulan topik, silakan kirim e-mail ke redaksi.

Cheers