Thursday, July 2, 2009

Topik: Pengalaman Lucu dan Konyol Waktu Nembak Gebetan

Say It Out Loud Juli 2009

Nembak gebetan emang bikin panas dingin, kaki lemas, dan jantung berdebar nggak kira-kira. Hati-hati, jangan sampai pingsan di tempat! Kira-kira diterima atau ditolak yak? Atau kira-kira dia hetero atau lesbian sih? Oh my goodness! Punya kisah yang menggelikan, lucu, terharu, dan terkenang selamanya? Ayo, bagi ceritanya yang bikin pembaca bakalan nyengir, mesem-mesem, hati menghangat, atau malah tertawa terbahak-bahak. Siapa tahu ada yang bisa belajar dari kegagalan atau kesuksesan teknik menembakmu!

Deadline: 31 Juli 2009

Kirimkan ke: redaksi@sepocikopi.com

Waktu itu, seseorang sebut saja namanya Wiwied mengajakku makan malam. Dari awal aku sudah merasakan aura spesial, kami memang lagi dekat-dekatnya, tapi belum dideklarasikan sebagai pasangan. Selama maka malam di restoran yang lumayan romantis, Wiwied nggak ngomong apa-apa soal hubungan kami. Aku gelisah, tapi tidak tahu apa yang aku gelisahkan. Selesai makan, kami masuk ke mobil, tapi Wiwied tidak memundurkan mobilnya dari tempat parkirnya. Dia malah menyalakan musik dan rileks di kursi. Aku deg-degan setengah mati, rasanya waktu berlalu dengan demikian lama. Wiwied tidak melakukan apa-apa, kecuali hanya bernyanyi-nyanyi kecil mengikuti syair lagu.

Karena nggak sabar, akhirnya aku yang nembak duluan. Aku bertanya kepada Wiwied apa dia suka sama aku. Hari itu menjadi sangat spesial bagi kami berdua karena Wiwied juga mengungkapkan perasaan yang sama padaku. Beberapa hari setelah aku menyatakan perasaanku, pacarku bilang sebenarnya dia berniat menembak aku selama makan malam, tapi karena nervous, dia nggak sanggup. Selama di mobil, dia juga kepengin menyatakan perasaannya padaku, tapi dia terlalu takut dan deg-degan. Untung, aku yang lebih berani! Dari kepengin menembak, jadilah dia yang ditembak.
(Kenanga)

Namaku terdaftar di kepanitiaan perayaan hari besar agama di kampusku, dan inilah yang membuatku terpaksa harus pulang agak larut malam itu. Di situlah lirikanku tiba-tiba tertuju pada seorang lelaki baik yang tampangnya ramah, kulitnya putih bersih, senyumnya menawan, dan badan kekarnya nan atletis tersembunyi di balik baju kokonya. Kagumku semakin menjadi-jadi tatkala lelaki baik ini menemaniku berjalan kaki meninggalkan kampus, lalu setia menunggu angkutan-umum bersamaku. Dalam hati, aku berpikir, mungkin dia adalah sosok lelaki yang kuidam-idamkan selama ini.

Besoknya, langsung kutelpon rumahnya. Kubilang saja, aku suka padanya. Lelaki baik ini shock, meminta waktu untuk berpikir. Satu hari? Dua hari? Nggak! Sekarang juga, aku bilang begitu. Dia langsung menutup telponnya tak karuan dan menelponku lagi setelah lima menit berlalu. Tahu jawabannya? Dia bilang, akan lebih menyenangkan jika aku menjadi seorang sahabat daripada menjadi seorang kekasih. Huh! Aku ditolak seorang lelaki, padahal aku hampir tak pernah ditolak oleh perempuan mana pun, hahahahahaha! Beberapa hari kemudian, kami masih sering bertemu di kampus, aku masih sering menggodanya di depan teman-teman kampus. Wajahnya merah, tersipu malu karena digoda oleh seorang perempuan tomboy yang sepertinya hampir kehilangan urat malunya.
(Arie Gere)

Sanggar kami akan melakukan pertunjukan di Ancol dan tim akan menginap, "Yes, that's my time! Aku akan menciumnya di pantai itu!" tekadku dalam hati. Waktu pertunjukan telah usai, kami bergandengan tangan menuju pantai. "Ih, menyebalkan, kenapa jam segini masih rame aja?" gerutuku dalam hati. Ternyata tim tak mau melewatkan kesempatan menikmati angin pantai di tengah malam. Kuurungkan niat sambil menyusun strategi B. "Aku akan menciumnya di cottege."

Entah sejak kapan kami tidur berpelukan di ranjang. Kepalaku bersandar di dadanya. Jantungku rusuh. Untung lampunya dimatikan, kalau tidak mungkin semua orang keheranan melihat posisi tidur kami. Aku lemas kecapekan dan akhirnya tertidur. Beneran, tertidur. Aku tidak ingat apa-apa sampai dagunya yang lancip menyentuh hidung membuatku terbangun. Dalam kegelapan, kuraih bibirnya. Aku mengecupnya dan dia balas menciumku. Malam itu, lima tahun yang lalu.
(Libraris)

Sehabis menonton bersama teman-teman, dia kemalaman dan menginap di kamar kostku. Sebenarnya aku panik karena sejak lama dia menarik perhatianku, belum lagi kenyataan dia tidak tahu aku seorang lesbian. Tapi aku tidak dapat melakukan apa-apa. Dia tidur di ranjangku tanpa rasa bersalah. Kadang bahkan berbaring miring ke arahku. Wajahnya hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajahku. Napasnya menyapa kulitku. Aku bingung, merinding. Jantungku marathon melawan paru-paru. Aku mencoba menahan diri dan mengacuhkan keberadaannya. Namun, tetap saja aku akhirnya terjaga sepanjang malam.

Paginya, entah karena dorongan dari mana, aku akhirnya come out dan mengatakan bahwa aku sayang padanya. Saat itu kami masih berbaring di atas ranjang yang sama. Dia hanya berkata, "Iya?" dengan nada menyangsikan. Aku tidak meminta dia menjadi kekasihku hari itu. Dia bahkan baru mengucapkan kata "love" satu-dua bulan setelah hari itu. Jadi, apakah hari itu bisa disebut sebagai hari penembakanku kepadanya? Entahlah, yang aku tahu hanyalah bahwa sejak saat itu, setiap bulan kami selalu merayakan tanggal yang sama. Merayakan tanggal pertama aku berbaring bersisian dengannya.
(Sky)

Awalnya sih dia yang menyatakan perasaannya duluan lewat sms tapi sambil telponan. Gila, bayangin aja, nerima sms pernyataan sementara orangnya masih ada di seberang sana. Karena tidak tahu tau ngomong apa, akhirnya aku tidak menjawab apa-apa. Besoknya berusaha bersikap senetral mungkin dengan mengobrol seperti biasa, tapi akhirnya aku tak bisa membohongi diriku sendiri kalau sms-nya itu menggetarkan jiwa dan membuatku tidak bisa makan dan tidur tenang.

Tidak ingin menyesal di kemudian hari, aku membulatkan tekad dan menyingkirkan rasa kemaluanku. Aku mengirim sms lirik lagu B. Adams yang sangat menggambarkan perasaanku waktu itu You found the way into my head, where even angels fear to tread... Malamnya setelah aku sms, aku nyanyikan lagunya dengan iringan gitar setelah latihan berkali-kali sebelumnya. Phew, deg-degan abis. I convinced myself that it would work. And yes, it did.
(Wina)