Kata orang kamu nggak akan pernah merasakan jatuh cinta jika belum sakit hati oleh cinta. Ahhh... yang benar? Ayo, cerita dong pengalaman patah hati yang paling menyakitkan. Dari pengalaman yang buruk muncullah pengajaran yang paling bijak. Bukankah demikian?
Deadline: 30 September 2007
Hati saya masih sakit. Kami baru putus seminggu yang lalu, akhir September 2007. Satu tahun bersama bukan merupakan fondasi yang bagus untuk memulai perjalanan yang saya harapkan bakalan panjang. Sudah empat bulan yang lalu dia pindah ke negeri lain, bekerja. Saya berusaha sekuat tenaga mempertahankan hubungan jarak jauh ini. Bahkan saya mengumpulkan uang untuk terbang mengunjunginya di sana. Tapi apa daya, bukannya hubungan kami bertambah kuat, tapi malah retak. Sudah jauh-jauh ke sana, tapi saya diputus tepat malam pertama saya tiba. Rencana seminggu berada bersamanya membuat saya nggak sanggup bertahan sehari saja. Saya langsung pulang pada penerbangan available secepatnya. Sepanjang perjalanan dalam pesawat terbang, air mata saya nggak bisa berhenti mengalir. Alangkah bodohnya saya!
(J.B)
Betapa sedihnya kehilangannya. Sebulan yang lalu aku masih memeluknya, merasakan hangat tubuhnya, lembutnya bibirnya, dan belaian sayangnya. Kini semua tiada guna. Aku telah mencoba segala cara untuk mempertahankan hubungan ini, apa pun akan kulakukan demi kebersamaan kami. Aku pernah menulis sepuluh halaman surat cinta untuk menyatakan betapa sayangnya aku padanya. Aku pernah memohon maaf di ujung kakinya. Aku pernah mengirimkan bunga mawar berpuluh tangkai. Sakit sekali rasanya ditinggalkan! Rasanya jiawaku terbelah dan berdarah-darah. Air mataku membanjiri wajah, seperti aliran sungai. Aku mencoba menyangkal bahwa dia telah meninggalkanku. Ini kenyataan yang sulit kuterima. Semua ini salahku, tiada yang lain. Aku terlalu bodoh untuk tergoda, padahal dia adalah yang terindah dalam hidupku.
Pada malam hening seperti ini, aku merindukannya. Sejuta rasa bertumpuk di benak. Seperti malam-malam kemarin sejak kita berpisah, aku harus menelan semuanya. Satu per satu, entah sampai kapan aku sanggup bertahan. Apakah aku tidak pantas mendapat kesempatan? Aku tak pernah menduga rasa pedih ini yang sangat menyayat hati.
(Ajeng)
Sebulan lalu hubungan saya dengan sang mantan kekasih harus berakhir setelah 2 tahun 8 bulan bersama. Setelah dia pergi, saya baru menyadari sayalah yang membuat dia menjauh. Berat badan saya langsung turun 6 kg tanpa harus menjalani diet ketat! Walaupun umurnya sudah kepala 3 dan saya baru kepala 2, dia jauh lebih manja daripada saya. Kami sama-sama terlalu feminim dan peka. Banyak hal yang membuat saya menangis kalau ingat si mantan pada tengah malam; seperti kebiasaannya menyediakan dan memasak “mie goreng” sebelum tidur untuk saya. Kebiasaannya terhadap kebersihan. Hanya dia yang selalu merapikan tempat tidur ketika kami habis bercinta. Sedih sekali membayangkan kenangan itu. Kalau saja waktu bisa diputar ulang, ingin rasanya kembali ke tiga tahun yang lalu. Sekarang saya lagi patah hati berat karena kehilangan dirinya. Pesan buatnya "Mami, maafkan Mama yah, yang selalu egois, sibuk, dan marah-marah sama kamu. Percayalah, kamu adalah napasku dan darah dalam hidupku. YOU JUST TOO PERFECT FOR ME!"
(Rere Cute)
Ceritanya begini: aku berpacaran pertama kali dengan dia. Waktu itu aku baru bekerja dan dia masih kuliah, mahasiswi semester awal. Dia sangat posesif, ke mana-mana aku diintai. Pulang malam sedikit karena training (maklum karyawan baru), SMS bertubi-tubi datang. Wah, nggak banget deh! Baru tiga bulan jadian, aku nggak tahan, minta putus. Tapi dengan bercucuran air mata, dia memelas untuk meneruskan hubungan. Katanya dia sayang aku setengah mati. Aku juga sih! Akhirnya aku bersedia meneruskan hubungan.
Pas seminggu sebelum perayaan satu tahun jadian, tiba-tiba aku mendapat YM dari teman yang bilang ada yang melihat dia sedang bergandengan tangan mesra di mal dengan cewek lain. Seperti disambar petir mendengarnya. Padahal aku telah menyiapkan perayaan satu tahun jadian kami. Aku udah beli kado, sepasang cincin untuk kami berdua. Selama dua hari, aku berusaha keras memata-matai tindak tanduknya, dan ternyata memang benar, akhirnya dia mengaku bahwa dia jatuh cinta dengan yang lain, beberapa bulan yang lalu. Dengan sakit hati yang nggak kepalang, aku memutuskan hubungan dengannya. Cincin itu akhirnya aku jual kepada satpam di kantorku yang sebentar lagi akan menikah. Untung nggak ada grafis namaku dan dia di cincin itu. Udah jelas aku rugi berat, tapi aku nggak peduli. Yang penting aku buang sial!
(Nit'ya)
Pas seminggu sebelum perayaan satu tahun jadian, tiba-tiba aku mendapat YM dari teman yang bilang ada yang melihat dia sedang bergandengan tangan mesra di mal dengan cewek lain. Seperti disambar petir mendengarnya. Padahal aku telah menyiapkan perayaan satu tahun jadian kami. Aku udah beli kado, sepasang cincin untuk kami berdua. Selama dua hari, aku berusaha keras memata-matai tindak tanduknya, dan ternyata memang benar, akhirnya dia mengaku bahwa dia jatuh cinta dengan yang lain, beberapa bulan yang lalu. Dengan sakit hati yang nggak kepalang, aku memutuskan hubungan dengannya. Cincin itu akhirnya aku jual kepada satpam di kantorku yang sebentar lagi akan menikah. Untung nggak ada grafis namaku dan dia di cincin itu. Udah jelas aku rugi berat, tapi aku nggak peduli. Yang penting aku buang sial!
(Nit'ya)
Setahun yang lalu, kalau boleh saya mengingat, luka itu masih berbekas sampai sekarang. Sembilan September. Dua hari setelah ulang tahun saya dan tiga hari setelah ulang tahunnya. Kami bertatap muka untuk pertama kali dan memutuskan untuk menjalani hidup berdua. Janji-janji yang pernah kami ikat bersama terkikis oleh waktu yang hanya setahun. Belum pernah seumur hidup saya begitu menginginkan sesuatu seperti ini. Saya merasa begitu hidup! Saya hanya menginginkan dirinya tapi karena pengkhianatan dan kebohongannya, saya harus merelakannya pergi. Selama kami berhubungan, saya selalu diduakan. Sakit sekali rasanya. Pedih.
Akh, betapa tidak berharganya diri saya di hadapannya!
Sampai sekarang, saya masih mengharapkan dia berubah. Saya menunggu di suatu hari, dia yang lebih baik akan datang menjemput saya dan kita bisa bersatu kembali seperti dulu.
(Fannie)
(Fannie)